kemukakan hubungan antara kearifan lokal dan kondisi geografis
Kaliini akan dibahas mengenai pengertian dan pengaruh letak geografis terhadap keadaan alam dan kependudukan. Pengertian Letak Geografis. Pengaruh Letak Geografis di Indonesia. 1. Pembagian Musim di Wilayah Indonesia. 2. Sektor Pada Hubungan Politik. 3. Aspek Sosial Budaya di Indonesia.
Menjadistimulus bagi pihak yang terdiskriminasikan untuk terus mengembangkan dirinya agar menjadi lebih baik. 2. Dampak Negatif: Memicu kesombongan terhadap pihak yang diunggulkan. Menimbulkan kecemburuan sosial antarpihak. Demikianlah 7 contoh ketimpangan sosial beserta dampaknya.
Kearifanlokal memiliki keterkaitan dengan suatu kelompok
A Kearifan Lokal dan Pemberdayaan Komunitas 2. Kearifan Lokal 1. Komunitas 78. 1. Komunitas Menurut pemahaman Anda, apa yang dimaksud dengan komunitas? Komunitas merupakan salah satu bentuk kelompok sosial yang sengaja dibentuk karena memiliki kesamaan kepentingan (interest) dan nilai yang dianut (values) 79.
WasistoRaharjo JatiKearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan WalisongoWalisongoWalisongoWalisongo, Volume 21, Nomor 2, November 2013 393 KEARIFAN LOKA
Lieu De Rencontre Fontenay Le Comte. Abstrak Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Kata kunci kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 1Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan Antariksa E-mail antariksa E-mail Abstrak Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral maupun profan. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya arsitektur perkotaan. Arsitektur perkotaan dan lingkungan binaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Demikian pula, penggunaan teor-teori untuk menggali kearifan lokal, dapat mengungkapkan nila-nilai arsitektur bangunan maupun kawasan dari suatu tempat. Dengan demikian local wisdom kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. Kata kunci kearifan lokal, arsitektur perkotaan, persepsi budaya 1. PENDAHULUAN Penegasan dalam arsitektur perkotaan sudah sangat jelas, bahwa konteks budaya yang terdapat di dalamnya, menjadi bagian utama untuk digali dan dicari. Apa yang melatarbelakanginya dan bagaimana cara mengungkapkannya, agar nilai budaya itu dapat memberikan arti dan membuka wawasan bagi perencanaan dan perancangan perkotaan di masa mendatang. Perjalanan budaya suatu kawasan yang di dalamnya terdapat manusia dan bangunan, telah memberikan ciri khas pada kehidupan masyarakat dalam sejarah peradaban bangsa. Peradaban sendiri, diistilahterjemahkan dari civilization, dengan kata latin civis warga kota dan civitas kota; kedudukan warga kota. Hal itu diistilahkan oleh Franz Boas menjadi lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya juga memberikan tekanan pada dua hal pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu Antariksa, 2009b. Kearifan lokal telah menjadi tradisi-fisik-budaya, dan secara turun-temurun menjadi dasar dalam membentuk bangunan dan lingkungannya, yang diwujudkan dalam sebuah warisan budaya perkotaan. Benar adanya bahwa, pengakuan tentang warisan budaya cultural heritage yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu, berarti memperhatikan elemen-elemen jalan street-furniture dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau soft-landscape maupun perkerasannya hard-landscape. Ahli perkotaan Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya. Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah. Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 22. HASIL DAN PEMBAHASAN Mencari Makna Kaerifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal local wisdom terdiri dari dua kata kearifan wisdom dan lokal local. Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom kearifan sama dengan kebijaksanaan. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat local yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Menurut Gobyah dalam Sartini 2004112 mengatakan bahwa kearifan lokal local genius adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan maupun produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Pada bagian lain, Geriya dalam Sartini 2004112, mengatakan bahwa secara konsepsual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan reinforcement. Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Sartini, 2004112 Kearifan-kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan dalam pembentukan jatidiri bangsa secara nasional. Kearifan-kearifan lokal itulah yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar Sayuti, 2005. Motivasi menggali kearifan lokal sebagai isu sentral secara umum adalah untuk mencari dan akhirnya, jika dikehendaki, menetapkan identitas bangsa, yang mungkin hilang karena proses persilangan dialektis seperti dikemukakan di atas, atau karena akulturasi dan transformasi yang telah, sedang, dan akan terus terjadi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Bagi kita, upaya menemukan identitas bangsa yang baru atas dasar kearifan lokal merupakan hal yang penting demi penyatuan budaya bangsa di atas dasar identitas daerah-daerah Nusantara Sayuti, 2005. Dalam kaitan ini, kearifan lokal yang terkandung dalam sistem seluruh budaya daerah atau etnis yang sudah lama hidup dan berkembang adalah menjadi unsur budaya bangsa yang harus dipelihara dan diupayakan untuk diintegrasikan menjadi budaya baru bangsa sendiri secara keseluruhan. Pengembangan kearifan-kearifan lokal yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnya suatu bangsa, terutama jika dilihat dari sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi identitas daerah itu sendiri. Kearifan lokal yang juga meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu, dengan demikian, juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Karya-karya arsitektur perkotaan, yang digali dan sumber-sumber lokal, jika ditampilkan dalam 'wajah atau wacana ke-indonesiaan' niscaya memiliki sumbangan yang sangat besar bagi terciptanya identitas baru keseluruhan bagi bangsa secara keseluruhan. Menurut Juwono 200576, identitas keruangan adalah salah satu kekayaan sosial budaya untuk meneguhkan keberadaan masyarakat dalam proses perubahan sosial budaya lingkungannya. Dalam perancangan kota, penguatan akan potensi lokal menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi dampak permasalahan peningkatan konflik serta adanya kesenjangan menjadi persoalan yang urgen. Perhatian terhadap potensi lokal arsitektur kawasan sebagai “daya tarik serta keunggulan” kota menjadi penyeimbang sinergi globalisasi lokal Eade, 1977. Kekuatan dari kearifan lokal tersebut berupa nilai masa lalu atau saat ini maupun perpaduan dari keduanya yang memiliki signifikasi dan keunikan. Kenyataan kota-kota dalam masa sekarang ini cenderung kehilangan kekuatan tradisi kelokalannya yang Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 3semakin larut masuk dalam dinamika global. Konservasi kawasan merupakan sebuah tantangan dalam perancangan kota, hal ini dimungkinkan karena proses perkembangan dan pertumbuhan kota untuk memperhatikan nilai histories dan dinamika dari kawasan tersebut. Kearifan Lokal dalam Tatanan Tradisionalistik Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan Rapoport, 1969. Pola tata ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan wilayah penyangga hijau. Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh rumah Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje 1985 membuktikan bahwa hunian masyarakat permukiman Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh dahulu disebut dengan Kutaradja dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik Lombard, 2006. Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya. Kebijakan mengenai aspek adat dan kehidupan Gampong yang tertuang dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang menyatakan bahwa Gampong berhak untuk merancang dan menetapkan reusam Gampong tata krama peradatan di Aceh untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar untuk menghidupkan kembali adat yang semakin menghilang akibat pergeseran nilai-nilai masyarakat. Oleh karena itu, penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan Gampong, sekaligus sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa. Burhan, 2008 Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 4Pengaruh kepercayaan pada permukiman Dusun Sade Lombok, antara lain terlihat pada pemilihan lokasi permukiman dan orientasi bangunannya. Lokasi permukiman dipilih pada daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, yaitu pada daerah perbukitan dengan pertimbangan sebagai berikut Mahayani, 199535 1 Kepercayaan terhadap kosmos tentang adanya kekuatan alam gaib yang barada di alam atas dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai sumber rahmat keselamatan sekaligus kutukan dan kesengsaraan; 2 Faktor keamanan, puncak bukit merupakan tempat yang strategis untuk mengatur pertahanan mengingat adanya konflik antara Dusun Sade dengan dusun-dusun lainnya; 3 Faktor kesuburan tanah, perbukitan merupakan daerah yang kurang subur karena banyak mengandung kapur, sedangkan daerah sekitarnya yang berupa dataran rendah merupakan daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk mata pencaharian masyarakat setempat. Rumah-rumah di Dusun Sade terbuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam, seperti kayu, bambu dan alang-alang, dengan letak rumah yang berderet dan berdekatan, sehingga membentuk pola linear dengan orientasi ke arah timur dan barat. Arah orientasi rumah-rumah tersebut tidak tepat menghadap ke timur dan barat melainkan agak miring sesuai dengan topografi kawasan. Orientasi ini didasarkan kepada arah matahari yang dipercaya akan memberikan berkah. Arah timur diartikan sebagai penewu jelu, yaitu tempat matahari terbit dan arah barat diartikan sebagai penyerap jelu, yaitu tempat matahari terbenam. Selain itu juga adanya pantangan untuk menghadap ke utara karena mengarah ke Gunung Rinjani yang dianggap sebagai tempat suci karena merupakan tempat bersemayamnya Dewa Gunung Rinjani, yaitu dewa tertinggi yang menguasai seluruh Pulau Lombok Krisna, 2005. Rumah-rumah tersebut memiliki ukuran yang sama dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sekitar serta memiliki bentuk yang sederhana. Keseragaman pada bentuk maupun bahan bangunan yang digunakan, diartikan sebagai kesamaan asal usul yaitu dari segumpal tanah. Oleh karena itu, sebagai manusia yang sama asal dan derajatnya maka rumah tinggal sebagai tempat hunian mereka di dunia juga harus sama. Ciri dari permukiman tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung kecil. Ada juga satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga. Ekspresi ruang pada susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya Tulistyantoro, 2005. Pola perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan lanjhang halaman panjang. Menurut Zawawi Imron survey primer 2008, permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan. Sedangkan menurut Edy, budayawan Madura survey primer 2008 dikatakan bahwa konsep taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan kering/tandus menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena berlakunya tradisi matrilokal. Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat matrilokalitas serta sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. Dewi, 2008 Kegiatan adat dan budaya yang berkembang di Desa Trowulan merupakan perpaduan antara nilai tradisi Jawa dan Majapahit, tradisi tersebut masih dipakai di tengah kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang paling dominan dan menonjol adalah hanya bersifat periodik atau waktu tertentu, yaitu cok bakal, tingkep, among-among, tandur, keleman, wiwit dan bersih desa. Tradisi dan budaya tersebut mempengaruhi bentuk pola permukiman pola hunian baik internal maupun eksternal. Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 5Aspek pola hunian menguraikan mengenai tipologi desa dan pola permukiman desa. Pola permukiman yang ada di Desa Trowulan terdiri atas, mengumpul dengan orientasi rumah adalah halaman yang digunakan secara bersama komunal, linier dengan orientasi rumah adalah jalan, serta linier memusat dengan orientasi rumah adalah jalan dan cenderung terpisah dengan dusun yang lain. Pola permukiman ini kemudian di bagi lagi menjadi unit yang lebih kecil lagi, yaitu pola hunian. Karakteristik non fisik masyarakat pada pola hunian dengan orientasi halaman bersama cenderung melakukan aktivitas sosial dan sistem nilai yang sama, hal ini didukung dengan hubungan kekerabatan yang ada masih sangat erat, karena mereka adalah satu keturunan yang sama. Secara umum bentuk arsitektur tradisional di daerah Kabupaten Mojokerto, sebuah kawasan peninggalan kerajaan Majapahit dapat dilihat bahwa perkembangan arsitektur Mojokerto dipengaruhi oleh dua budaya etnis, yaitu budaya Jawa dan budaya Madura. Kedua budaya inilah yang nampaknya sangat dominan pengaruhnya, walaupun sebenarnya masih terdapat etnis lain, seperti suku Osing dari Banyuwangi dan para pendatang yang sebagian besar berasal daerah pesisir. Dengan demikian maka pola permukiman yang ada di Kabupaten Mojokerto sedikit banyak mempunyai persamaan dengan pola permukiman yang berkembang di daerah Madura. Permatasari, 2008 Peninggalan Kolonial dan Kearifan Lokal Bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang masih ada di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari bangunan yang dibangun pada perioede awal tahun 1900 sampai dengan sebelum tahun 1930 sekitar tahun 1914-1918 dan bangunan yang dibangun sekitar tahun 1930-an. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1914-1918 memiliki desain bangunan yang secara keseluruhan terkesan lebih dekoratif dan detail dari bangunan berlanggam tahun 1930-an. Secara umum, fasade bangunan pada masing-masing sisi ruas jalan di Kawasan Oranjebuurt Kota Malang kurang memiliki legibilitas kemudahan untuk dipahami atau dibayangkan dan dapat diorganisir sebagai suatu pola yang koheren. Unsur irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks sulit ditemukan karena perubahan fisik bangunan baru tidak memperhatikan harmonisasi dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Walaupun hanya tersisa beberapa bangunan, masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memperlihatkan suatu harmonisasi antar fasade bangunannya, pengakitan yang digunakan di antarnya adalah proksimity, reproduksi dan penutup berkesinambungan. Skala ketinggian bangunan di Kawasan Oranjebuurt tidak membentuk suatu kesan ruang, karena memiliki garis sempadan bangunan yang cukup besar, sehingga jarak antar muka bangunannya rata-rata empat kali lebih besar dari ketinggian bangunan. Novayanto, 2008 Keteraturan ruang pada Kawasan Oranjebuurt secara makro terbentuk oleh kaitan visual ruang terbuka open space/void yang lebih dominan, sedangkan massa bangunan solid lebih kepada sebagai infill saja. Void yang membentuk kaitan visual di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari struktur jaringan jalan yang memperkuat orientasi kawasan. Solid atau massa yang terdapat di Kawasan Oranjebuurt memiliki peran dalam elemen perkotaan sebagai blok medan, yaitu sebagai massa yang memiliki berbagai macam bentuk dan orientasi, namun masing-masing tidak dilihat sebagai individu, melainkan dilihat sebagai keseluruhan massa secara bersama. Novayanto, 2008 Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan Persepsi budaya dalam perkotaan pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Culture 1973, seikat dari aktifitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik. Dalam pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities 1938nya mengatakan bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota ..….. adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways. Peran budaya terhadap kota dalam The City 1905, Max Weber mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan urbanity – wujud kosmopolitan Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 6dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. Kuntowijoyo 200364 Di sini urbanisme menjebak masyarakat dalam kebebasan untuk menentukan tempat kehidupan berarsitektur dalam lingkungan binaannya. Pengaruh dari perkembangan arsitektur telah membebani kehidupan berarsitektur masyarakat perkotaan dan perdesaan. Aspek tatanan budaya dan fisik mereka dijadikan objek sebuah tatanan baru yang berbeda dengan geografis-kultural setempat, sehingga menenggelamkan kerifan lokal yang mereka punyai. Keanekaragaman sosial budaya masyarakat pada suatu daerah tidak terbentuk dalam jangka waktu yang singkat. Namun terbentuk melalui sejarah yang panjang, perjalanan berliku, tapak demi tapak yang terjadi secara turun temurun dari berbagai generasi. Pada titik tertentu terdapat peninggalan-peninggalan yang eksis atau terekam sampai sekarang yang kemudian menjadi warisan budaya. Dengan demikian, proses perjalanan sejarahnya pun tidak dapat dipolitisasi bahkan direkayasa. Hal ini menjadi penting agar tidak menghentikan tradisi budaya mereka yang sudah berjalan secara turun-temurun sebagai warisan. Teori Sebagai Alat Pengungkap Kearifan Lokal Di kota-kota yang memiliki kekuatan fisik struktural dapat dilakukan dengan pendekatan fisik Trancik, 1986, di samping pendekatan yang memperlihatkan aliran hubungan dan interaksi serta nilai-nilai kontekstual ruang. Setiap kota memiliki banyak fragmen tinggalan masa lalu, yaitu kawasan-kawasan bersejarah kota yang berfungsi sebagai bagian yang terdapat di dalam kota. Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menggali kearifan lokal, adalah elemen penghubung, yaitu elemen-elemen dari linkage satu kawasan ke kawasan lain untuk membantu orang agar mengerti fragmen-fragmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar Zahnd, 1999108. Pendekatan lain adalah figure ground sering dipergunakan untuk mendeskripsikan pola masif dan void tata ruang perkotaan kawasan. Berdasarkan teori figure/ground, suatu tata kota dapat dipahami sebagai hubungan tekstual antara bentuk yang dibangun building mass dan ruang terbuka open space. Figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan urban fabric, serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa/ruang perkotaan Zahnd, 199979. Kemudian teori place dipergunakan untuk memahami seberapa besar kepentingan tempat-tempat perkotaan yang terbuka terhadap sejarah, budaya dan sosialisasinya. Analisis place adalah alat yang baik untuk i memberi pengertian mengenai ruang kota melalui tanda kehidupan perkotaannya; dan ii memberi pengertian mengenai ruang kota secara kontekstual Zahnd, 199970. Secara fisik, sebuah ruang space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya setempatnya Trancik, 1986. Pendekatan citra kota memberikan arah pendangan kota ke arah yang memperhatikan pikiran terhadap kota dari orang yang hidup di dalamnya. Makna sebuah tempat dapat diungkapkan berdasarkan elemen-elemen pembentuk citra. Tiga dari lima elemen yang dapat mengungkapkan makna dari ciri perkotaan, yaitu district kawasan, node simpul, edge batas serta landmark tengeran Lynch, 1960, kelima elemen ini tidak dapat dipandang secara terpisah antara satu dengan lainnya. Karena kelimanya akan berfungsi dan berarti secara bersamaan dalam satu interaksi. Melalui konsep mental map ruang kota menurut Lynch 1960 konservasi kawasan dapat dikembangkan kota sebagai “konstruksi collective memory”. Namun tidak demikian halnya dengan kota-kota yang tidak memiliki “struktur fisik” seperti kota-kota yang terdapat di Indonesia, dengan eksistensi kota-kota semacam ini lebih bertumpu pada kekuatan sosial budayanya. Pendekatan sinkronik dan diakronik yang diungkapkan oleh Suprijanto 2001108, umumnya digunakan dalam kaitannya dengan morfologi dalam arsitektur dan kota sebagai metode analisis. Pada morfologi atau perkembangannya, aspek diakronik digunakan untuk mengkaji satu aspek yang Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 7menjadi bagian dari satu objek, fenomena atau ide dari waktu ke waktu. Sedangkan aspek sinkronik digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar aspek dalam kurun waktu tertentu. Akan tetapi, pendekatan-pendekatan di atas masih belum menyentuh masalah budaya arsitektur perkotaan, yang dapat digunakan untuk melihat struktur kota yang berkaitan dengan bangunan dan kawasannya. Massa dan ruang yang akan dimaknai, belum cukup untuk dapat mengungkapkan tradisi dan budaya dibalik lingkungan binaan yang melingkupinya. Dengan kondisi budaya yang berbeda, tentunya akan memberikan hasil yang berbeda pula dengan kondisi geografis bangunan dan kawasan lainnya. Karena struktur fisik kota di masing-masing tempat berbeda dengan struktur budaya di tempat lain yang didasarkan pada struktur geografis kulturalnya. Setiap kawasan juga memiliki keunikan tersendiri terbentuk karena adanya kekhasan budaya masyarakat, kondisi iklim yang berbeda, karakteristik tapak, pengaruh nilai-nilai spiritual yang dianut, dan kondisi politik atau keamanan dari suatu kota atau daerah. Pada dasarnya potensi yang dimiliki tersebut harus mampu dimanfaatkan ataupun dikembangkan sebagai daya tarik kawasan tersebut. Pendekatan yang lebih berorientasi pada pandangan etik harus melihat pandangan emik bagaimana kepentingan warga secara luas dan masyarakat kota secara umum. Dari disiplin perancangan kota, kasus ini menunjukkan “konstruksi sosial budaya kota” bukan konstruksi fisik seperti dapat dijumpai pada kota-kota lain di Indonesia Juwono, 200582. Menghadapi kenyataan tersebut tindakan yang harus dilakukan adalah mengkaji ulang konsep dasar perancangan kawasan serta melihat kembali apakah kearifan lokal yang ada masih dapat dipertahankan. Dengan demikian fungsi ruang adalah sebagai tempat transformasi nilai sosial budaya Demikian pula dengan makna kultural, dapat digunakan sebagai sebuah konsep yang mengusulkan kriteria untuk mengestimasi nilai dari suatu tempat. Suatu tempat dikatakan mempunyai makna, bila dapat membantu memahami masa lalu, memperkaya masa kini, dan dapat menjadi nilai untuk generasi yang akan datang. Termasuk di dalamnya adalah, nilai estetis, nilai sejarah, nilai estetika, nilai ilmiah, dan nilai sosial termasuk dalam konsep makna kultural seperti tertuang dalam piagam Burra Burra Charter, 1981. Pendekatan yang dilakukan oleh Catanese 1986, merumuskan kriteria yang digunakan dalam menentukan objek konservasi sebagai berikut estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan/keistimewaan, peran sejarah, dan memperkuat kawasan. Bahkan objek yang akan dikonservasikan menurut Pontoh 1992, dapat dikategorikan sebagai berikut nilai value dari objek, fungsi objek dalam lingkungan kota, dan fungsi lingkungan dan budaya. Gagasan ini pun dilanjutkan oleh Attoe dalam Catanese & Snyder 1992423-425 yang memberikan pendapat, bahwa perbedaan kualitas dan tingkat pentingnya dalam menentukan objek konservasi didasarkan pada lima pertimbangan sebagai berikut dianggap yang pertama, patut diperhatikan menurut sejarah, perlu dicontoh, tipikal, dan langka. Namun pertimbangan objek tadi belum cukup masih diperlukan parameter, yang oleh Fitch dalam Nurmala 200329 diungkapkan melalui tiga parameter konservasi dalam menentukan lingkup objek konservasi, yaitu skala, tipe dan artefak, dan ukuran dari artefak. Pendekatan ini ada kelemahannya, yaitu penerjemahan maupun penilaian terhadap makna kultural suatu bangunan kuno bersifat subjektif dalam artian tergantung pada masing-masing orang untuk menilai. Diperlukan adanya penelaahan budaya yang lebih mendalam lagi, agar nilai budaya yang terdapat dalam bangunan maupun kawasan bersejarah itu dapat terungkap dengan baik melalui pendekatan makna kulturalnya. 3. KESIMPULAN Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan arsitektur dan kawasan perkotaan, dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya. Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 8bangunan dan kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakat. REFERENSI Antariksa, 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota. Jurnal PlanNIT. 2 2 98-112. Antariksa, 2005. Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 15 1 64-78. Antariksa, 2007. Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai Aset Sejarah Budaya Bangsa. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya Malang, 3 Desember 2007. Antariksa, 2008. Memahami Sejarah Kota Sebuah Pengantar. Diakses 12 April 2009 Antariksa, 2009a. Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan. Diakses 5 April 2009. Antariksa, 2009b. Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan. Diakses 11 April 2009. Budihardjo, E. 1985. Arsitektur dan Pembangunan Kota di Indonesia. Bandung Alumni. Budihardjo, E. 1997. Arsitektur, Pembangunan dan Konservasi. Jakarta Djambatan. Budihardjo, E. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung Alumni. Burhan, Antariksa & Meidiana, C. Pola Tata Ruang Permukiman Tradisional Gampong Lubuk Sukon, Kabupaten Aceh Besar. arsitektur e-Journal. 1 3172-189. Diakses 25 April 2009 Dewi, Antariksa, Surjono. 2008. Pelestarian Pola Perumahan Taneyan Lanjhang Pada Permukiman di Desa Lombang Kabupaten Sumenep. arsitektur e-Journal. 1 2 94-109. Diakses 27 April 2009 Eade, J. 1997. Introduction, in John Eade, Ed. Living the Global City, Globalization as Local Process. London Routledge. Hardiyanti, N. S., Antariksa & Hariyani, S., 2005. Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunannan Surakarta. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 33 2112-124. Ibrahim, E., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2007. Pelestarian Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS. 17 1 48-66. Juwono, S. 2005. Keberadaan Kampung Kota di Kawasan Segitiga Emas Kuningan Konstribusi Pada Rancang Kota. Makalah dalam Seminar Nasional PESAT 2005. Universitas Gunadarma. Jakarta, 23-24 Agustus 2005. Krisna, R., Antariksa & Dwi Ari, I. R., 2005. Studi Pelestarian Kawasan Wisata Budaya di Dusun Sade Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal PlanNIT. 3 2124-133. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana Yogya. Lynch, K. 1960. The Image of the City. Cambridge MIT Press. Nurmala. 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan Pecinan-Pasar Baru, Bandung. Tesis. Tidak Diterbitkan. Bandung ITB. Permatasari, I., Antariksa & Rukmi, 2008. Permukiman Perdesaan di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. arsitektur e-Journal. 1 2 77-93. Diakses 3 Mei 2009 Rapoport, A. 1990. History and Precedent in Environmental Design. New York Plenum Press. Rappoport, A. 1969. House Form and Culture. New Jersey Prontise Hill Inc. Englewood Cliffs. Rypkema, 2008. Heritage Conservation and Local Economy. Global Urban Development Magazine. 4 11 Seminar Nasional “Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan” PPI Rektorat Universitas Merdeka Malang, 7 Agustus 2009 9Sartini, 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebagai Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 37 2 111-120. Diakses 10 April 2009 Sayuti, 2005. Menuju Situasi Sadar Budaya Antara “Yang Lain” dan Kearifan Lokal. Diakses 12 April 2009. Stelter, 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community 1-7. Trancik, R. 1986. Finding Lost Space Theories of Urban Design. New York Van Nostrand. Tulistyantoro, L. 2005. Makna Ruang Pada Tanean Lanjang Di Madura. Dimensi Interior. 3 2 137-152. Zahnd, M. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Yogyakarta Kanisius. Tulisan ini telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan, Jumat 7 Agustus 2009, Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Merdeka Malang. Copyright © 2009 by Antariksa ... Sebagai identitas suatu komunitas, Geertz 1992 menyatakan bahwa kearifan lokal dipraktekkan oleh suatu masyarakat sebagai jati diri, seperti dapat ditemui pada hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan, tata kelola, serta tata cara dan prosedur. Sementara itu, gabungan antara nilai-nilai ke-Semesta-an dengan beragam pandangan hidup tergabung menjadi kearifan lokal yang memotivasi kehidupan masyarakat modern Antariksa, 2009. Kedua pendapat ini menegaskan bahwa dalam tatanan budaya, identitas suatu masyarakat atau tempat tertentu dihadirkan melalui kearifan lokal Agusintadewi, 2016. ...... Kearifan lokal menjadi proses menemukenali potensi dan sifat-sifat alam dalam melanjutkan tradisi. Antariksa 2009 Selain itu, tidak sedikit dongeng, syair, dan cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun dan berkaitan dengan simbol peristiwa alam yang disampaikan pada cerita tersebut. Cerita rakyat, syair, dongeng, dan penamaan suatu tempat merupakan cara yang dilakukan oleh para orang tua dalam menyampaikan pesan atau peristiwa. ...... Masyarakat modern semakin mengabaikan kearifan lokal dan menganggapnya sebagai sesuatu yang kurang penting dan tidak perlu dirujuk lagi, sehingga hubungan antara alamtradisimanusia menjadi terputus Agusintadewi, 2016. Sejumlah pemikiran berdasarkan tradisi tersingkirkan oleh rasionalitas, walaupun pemikiran tersebut memberikan tuntunan hidup Antariksa, 2009. Metafisika dan fenomenologi semakin tidak dikenal, masyarakat modern pun semakin menjauh dari alam. ... Ni Ketut AgusintadewiLocal wisdom of a community is created by the abilities to read natural phenomena. These abilities are practised and inherited over generations through folklores, poetries, or even fairy tales. These become an integral part of the generations. From the folklores, even local knowledge of natural disasters was formed. Unfortunately, not all local wisdom can be known by the modern community, with the intention of many people died after natural disasters happening. This article describes how local knowledge that relates to disasters in Indonesia became a disaster mitigation that was ignored by the people today. Knowledge of local wisdom can be used as a disaster preparedness education to regional characteristics and adapted to the characters of the latest disaster. Being close to nature also makes local communities have the potentiality to save independently. Finally, the importance of local wisdom as a fundamental aspect in structuring the curriculum of disaster mitigation in Indonesia is as an appropriate effort to provide an education in dealing with disasters. Keywords culture of responsive disaster, local wisdom, curriculum of disaster mitigation ABSTRAK Kearifan lokal suatu masyarakat tercipta oleh kemampuan masyarakat tersebut dalam membaca fenomena alam. Kemampuan membaca alam ini dipraktekkan dan dituturkan secara turun-menurun dalam bentuk cerita rakyat, syair, atau pun legenda, sehingga lahirlah pengetahuan lokal mengenai bencana alam. Namun sayangnya, tidak semua kearifan lokal dapat diketahui oleh masyarakat saat ini, sehingga ketika terjadi bencana, banyak korban berjatuhan. Artikel ini memaparkan tentang bagaimana kearifan lokal terkait dengan bencana alam menjadi suatu tindakan mitigasi bencana yang terlupakan oleh masyarakat saat ini. Pengetahuan tentang kearifan lokal dapat dijadikan muatan pendidikan tanggap bencana yang telah diadaptasikan dengan pola dan ragam bencana terkini pada wilayah tersebut, sehingga masyarakat dapat melakukan penyelamatan secara mandiri. Artikel ini diakhiri dengan pemaparan tentang pentingnya kearifan lokal sebagai basis dalam kurikulum pendidikan kebencanaan di Indonesia sebagai upaya yang tepat untuk mengedukasi masyarakat dalam menghadapi sekaligus menangani bencana. Kata Kunci budaya tanggap bencana, kearifan lokal, kurikulum pendidikan kebencanaan PENDAHULUAN Secara geologis, geomorfologis dan geografis, Indonesia merupakan negara yang rawan dengan bencana, terutama bencana geologis gempa bumi, gunung meletus dan hidrometeorologi kekeringan, kebakaran, longsor, abrasi, erosi, angin topan, banjir, dan lain-lain. Potensi bencana setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang beragam, sehingga penanganannya pun haruslah berbeda pula, baik secara nasional maupun lingkungan sekitar. Pemahaman tentang dinamika hubungan alam dan manusia di suatu wilayah sangat mempengaruhi pandangan masyarakat tersebut dalam memperlakukan alam. Untuk mengurangi risiko bencana, maka partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan melalui menumbuhkan kesadaran akan kapasitas dirinya dalam mitigasi bencana. Pengalaman empirik manusia melalui interaksi dengan lingkungannya akan menghasilkan pengetahuan lokal tentang hubungan alam-tradisi-manusia. Namun saat ini, beragam pengetahuan lokal yang dimiliki oleh berbagai masyarakat tradisional di Indonesia perlahan-lahan mulai punah karena tidak didokumentasikan secara baik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Prakteknya, pengetahuan dan kearifan lokal dapat disinergikan secara empirik dan rasionalistik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana alam dengan memberdayakan partisipasi masyarakat lokal.... Secara etimologi, kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu lokal local yang berarti setempat yang menunjukkan tempat atau ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi terjadi, sedangkan kearifan wisdom atau kebijaksanaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang menggunakan akal pikirannya dalam menyikapi sesuatu peristiwa, objek atau situasi. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan setempat local yang memiliki makna atau nilai tertentu, bisa juga berupa pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat Antariksa, 2009. ...... Cultural expression is anything related to traditional and historical elements in the physical and non-physical forms that develop and is embedded in people's lives represented through symbols, signs, and activities. Moreover, this definition estimates the value of a place to help understand the past and enrich the present while still being valuable for future generations Antariksa, 2009. ...Natural and cultural aspects significantly affect architectural form development. High-rise building contributes to produce a high expression in the public space vision since it is gigantic. As an architectural aspect, a high-rise building has 2 main aspects, including Cultural Expression Culex and Climatic Expression Climex on its envelopes. This study aimed to design an interpretation method for Culex and Climex performance acceptance in high-rise building envelopes in Phinisi Tower, Makassar, Indonesia. Three theories, including gestalt perception, triadic semiotics, and tropical design or Critical Tropicalism were applied. Moreover, categorization, interpretation, and TRNSYS software simulation were used to process and analyze data from respondents and observations. This study led to the formation of an expression interpretation called Identification, Contextualization, and Implementation, abbreviated as "ICI." Culex was categorized into 2, including historical and traditional contexts. Climex also were categorized into 2, including historical and traditional contexts, and envelope configuration and geometry inter floors changes. There were 5 steps for interpreting the high-rise building envelope expression, including 1 Observational perspectives determination, 2 Organizing Gestalt principal basic expressions, 3 Culex and Climex contextualization, 4 Classification of the expression-creating element categories, and 5 Performance acceptance, inclusive or exclusive categorization. Generally, this method can contribute to designing high-rise buildings related to cultural and climatic elements. Key words Method, Interpretation, Expression, Envelope, Climatic, Cultural, Building, High-rise... Mitos Aceh. Banda Aceh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm Antariksa. 2009. Kearifan Lokal dalam Arsitektur Perkotaan dan Lingkungan Binaan. Kearifan Lokal Local Wisdom dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan Binaan. Malang PPI Rektorat Dahliani, Soemarno, I., & Setijanti, P. 2015. Local Wisdom In Built Environment In Globalization Era. International Journal ofEducation and Research, II ... Mukhammad FatkhullahDalam pariwisata, eksotisme budaya merupakan daya tarik bagi wisatawan. Akan tetapi, tidak semua budaya menghasilkan dampak yang sama. Beberapa justru menjadi penghambat upaya mengembangan masyarakat, terlebih pada upaya eksplorasi sumberdaya alam potensial untuk menunjang tujuan pembangunan. Penelitian ini bermaksud untuk melihat bagaimana budaya masyarakat lokal memberikan kontribusi pada sektor pariwisata, dengan menggunakan metode eksploratis berdasarkan studi literatur. Hasilnya, budaya masyarakat lokal mampu mendukung sektor pariwisata dengan syarat terdapat unsur kearifan didalamnya. Adapun unsur tersebut dapat bersumber dari Agama, bahkan takhayul sekalipun. Akan tetapi, hal tersebut hanya berlaku pada komunitas yang homogen. Takhayul yang ada pada masyarakat yang heterogen hanya akan menimbulkan keacuhan masyarakat, hingga penelantaran lingkungan. Adapun upaya untuk menghapus takhayul dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan aspek keagamaan. Lebih lanjut, studi ini menemukan bahwa pengembangan wisata berbasis budaya tetap dapat diupayakan dengan mempertimbangkan 1 regulasi yang beroritentasi pada pengembangan masyarakat dan berwawasan lingkungan, 2 pengembangan yang berfokus pada keunikan dan identitas lokal, serta 3 strategi pemasaran yang menekankan pada pengalaman spiritual.... Local wisdom in architecture can be seen from time and place that the local wisdom in terms of architecture comes from the past within the local people that carry out the value of local wisdom in persistent and continuous until now. Because the context of local wisdom applies to the local environment, based on local community thinking and who influence it, so that in each local wisdom to the other will be different and local in characteristic [6] and [2] So it needs a study of the wisdom of architectural locality regarding the wisdom values that can be applied in accordance with today conditions. Thus, architectural civilization is not trapped in the past, as science and architecture continue to evolve, automatically there will be changes in the development. ...... Secara etimologi, kearifan lokal berasal dari dua kata yakni; lokal local yang berarti setempat yang menunjukkan ruang interaksi tempat peristiwa atau situasi tersebut terjadi, sedangkan kearifan wisdom sama dengan kebijaksanaan atau dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, objek atau situasi. Secara umum makna local wisdom kearifan setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat local, nilai-nilai, pandangan-pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat Antariksa, 2009. ... Budhi LilyTimor Raya Restaurant comes from the proliferation of places that offer rental services of wedding packages in the city. The initial function of this restaurant was a venue for weddings with supported interior concept. As the time goes by, the restaurant also rented out for other events such as birthdays, graduations, meetings and gathering severance and other events that makes the interior concept incompatible anymore with such events. Flexibility of the interior space is the main problem of this restaurant and to study about it can use the "liquid" philosophy at the meaning of sirih pinang as a local wisdom potential. The purpose of this study is to present an interior design of Timor Raya Restaurant with "liquid" concept that can provide solutions to respond to some of the functions contained. Data collection method is done by observation and interviews and analyze with qualitative method to each element of the interior with the "liquid" concept. The results showed that by the application of "liquid" concept against every element make the interior concept of Timor Raya Restaurant can adjust to every event Liquid, interior, Timor Raya RestaurantAbstrack Restoran Timor Raya hadir dari maraknya tempat-tempat yang menawarkan jasa penyewaan paket pernikahan di Kota Kupang. Fungsi awal restoran ini adalah sebagai tempat berlangsungnya acara pernikahan dengan konsep iterior yang mendukung. Berjalannya waktu restoran ini disewakan juga untuk acara-acara lain seperti ulang tahun, wisuda, pertemuan dan temu pisah serta acara lainya yang mengakibatkan konsep interior yang ada tidak cocok dengan acara-acara tersebut. Masalah fleksibilitas ruang interior merupakan masalah utama dari restoran ini dan untuk mengkajinya dapat menggunakan filosofi “cair” pada makna sirih pinang sebagai potensi kearifan lokal. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghadirkan sebuah desain interior Restoran Timor Raya dengan konsep “cair” yang dapat memberikan solusi untuk merespon beberapa fungsi yang diwadahi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara serta menganalisisnya dengan metode kualitatif terhadap setiap elemen interior dengan konsep “cair”. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan aplikasi konsep ”cair” terhadap setiap elemen membuat konsep interior Restoran Timor Raya dapat menyesuaikan dengan setiap acara yang kunci Cair, interior, restoran timor rayaDewi MerdayantyKelurahan Sungai Jingah berbatasan dengan Sungai Martapura, dimana kondisi sungai ini hampir menetap sepanjang tahun dan mengalami musim pasang – surut yang tidak begitu lama sangat bermafaat bagi transportasi air dan lokasi jual beli di atas perahu, namun manfaat air sungai mulai berkurang dengan dibuatnya sarana dan prasarana darat seperti pembangunan jalan dan jembatan, masuknya air PDAM menggantikan manfaat air sungai untuk keperluan sehari-hari membuat lokasi sungai sepi aktivitas masyarakat, mengakibatkan pelaku usaha perahu/kapal sungai baik sebagai alat transprotasi dan alat angkut bagi jual-beli gulung tikar. Suasana seperti ini diperlukan dorongan Pemerintah agar masyarakat selalu kreatif dan inovatif melalui upaya pengembangan keunggulan setempat, seperti pengembangan pariwisata kampung tua rumah banjar, museum wasaka, kampung sasirangan, mawarung baimbai, agrowisata kebun rambutan dan kebun jeruk, kebun sehat, taman satwa, pengrajin akar pasak bumi dan budidaya madu sisi kekuatan untuk tatakelola potensi wisata Kelurahan Sungai Jingah cukupbanyak mempunyai lahan untuk pariwisata untuk dapat dikembangkan, kelemahan yang dimiliki sekarang seperti kurangnya sarana dan prasarana dalam mendukung dan mengembangkan pariwisata. Adapun peluang untuk pengembangan dan tatakelola wisata tersebut sangat tinggi karena pemasaran dan dukungan masyarakat yang cukup tinggi, sedangkan tantangan dalam mengelola potensi wisata adalah persaingan harga pasar dan kualitas bahan seperti halnya dalam pembuatan kain sasirangan dan pada kuliner harus mampu mempertahankan harga dan rasa agar dapat memberikan kepuasan kepada konsumen dan tidak membuat mereka merasa kecewa. Dari wisata kampung tua menuju wisata mesium wasaka dan wisata kuliner mawarung baimbai serta witasa kampung sasirangan dan agrowisata kebun rambutan dan kebun jeruk dapat dilakukan melalui susur sungai namun perlu adanya dukungan Pemerintah terutama dalam hal pengerukan sungai yang akan dilewati untuk kenyamanan dan kelancaran wisata susur sungai bagi Nurina Kartika IskandarCama Juli RianingrumAhadiat Joedawinatap>Abstract Baitul Muttaqien Mosque is one of the mosques in Indonesia, precisely in Samarinda, East Kalimantan with a variety of facilities and infrastructure in its interior, so it is dubbed the Islamic Center Mosque. The application of architectural and interior elements applied reflects two different cultures namely Middle Eastern culture and local culture, East Kalimantan. This is not just to beautify the mosque building, but there is a philosophical content contained in the two different cultural elements. Keywords culture, architecture and interior of the mosque, Islamic architecture, Baitul Muttaqien mosque Samarinda. Abstrak Masjid Baitul Muttaqien merupakan salah satu Masjid di Indonesia tepatnya di Samarinda, Kalimantan Timur dengan berbagai sarana dan prasarana yang ada didalamnya sehingga dijuluki Masjid Islamic Center. Penerapan elemen arsitektur dan interior yang diaplikasikan mencerminkan dua kebudayaan yang berbeda yaitu budaya Timur Tengah dan budaya lokal yakni Kalimantan Timur. Hal ini bukan sekedar untuk memperindah bangunan masjid itu saja, akan tetapi ada muatan filosofis yang dikandung dari kedua unsur budaya yang berbeda tersebut. Kata kunci Kebudayaan, Arsitektur dan interior masjid, arsitektur Islam, masjid Baitul Muttaqien Samarinda. Sebelum pengetahuan modern terkait penataan ruang berkembang pesat, sebenarnya masyarakat asli Indonesia pun telah mengenal konsep penataan ruang yang dalam berbagai diskusi dan penelitian ternyata terbukti efektif dan selaras dengan ilmu pengetahuan modern. Cara pandang serta konsep itulah yang dapat kita artikan sebagai bagian dari kearifan lokal. Tulisan yang disusun dengan tinjauan normatif ini mencoba menjelaskan bagaimana kearifan lokal dapat berperan dalam proses penataan ruang di Indonesia, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa di beberapa daerah kearifan lokal sudah diakomodir melalui regulasi daerah, di mana partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam proses ini, mengakomodir kearifan lokal berarti mengakui juga eksistensi masyarakat hukum adat seperti apa yang dikehendaki oleh konstitusi. kemukakan hubungan antara kearifan lokal dan kondisi geografis